Kampus menjadi lembaga pendidikan yang rentan terpapar masalah radikalisme dan isu toleransi di Indonesia. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) tahun 2020 yakni 85% generasi milenial dan gen z menjadi sasaran yang rentan terpapar paham radikalisme.
“Karakteristik anak muda biasanya kontrol emosinya masih labil, masih suka cari tantangan baru. Sementara wawasan kebangsaan dan pengetahuan keagamaan mereka masih tumbuh dan berkembang belum matang,”kata Pendiri Studiagama.id Tri Indah Annisa, M.Ag selaku narasumber pada kegiatan Webinar Literasi Publik Toleransi Beragama yang digelar oleh Indika Foundation, Acarya Media Nusantara serta didukung oleh Program Studi Ilmu Komunikasi Hindu STAHN Mpu Kuturan Singaraja, Rabu ( 23/8/2023).
Tri Indah yang juga akademisi UIN Syarif Hidayattulah Jakarta tersebut menekankan bahwa , gerakan radikalisme tidak muncul dalam satu agama saja. Namun bisa datang dari keperyaan dan keyakinan apapun dengan agenda ideologis.
Ia merinci bahwa mahasiswa bisa mencermati ciri-ciri fenomena sebuah kelompok atau indovidu radikal seperti fanatik, menolak perbedaan, sikap intoleran, menginginkan perubahan sosial, politik dan agama dengan berbagai cara.
“Pada umumnya sangat eklusif, memisahkan dan menghindarkan diri dengan kelompok tertentu,”tambah Annisa yang merupakan penggiat literasi moderasi tersebut. Mencegah gerakan Radikalisme di kampus, pihaknya menekankan peran kampus dalm membangun ekosistem moderasi yang serius dan konsisten.

Ia menegskan agar pihak kampus juga serius dalam memberikan edukasi terkait nilai-nilai pilar kebangsaan bagi mahasiswa, memfasilitasi mahasiswa dalam iklik akademik dan non akademik yang sehat dan produktif, serta memberikan pemahaman agama yang cukup melalui perkuliahan dan dialog-dialog konstruktif.
Sementara itu Sekretaris Acarya Media Nusantara Dr. I Putu Eka Sura Adnyana menyoroti jejaring mahasiswa sangat menentukan mindset dalam menyikapi fenomenana radikalisme yang rentan disusupi. Menurutnya, kampus sebagai ruang terbuka bagi paham-paham tertentu tidak bisa dinafikan, termasuk masalah terorisme dan intoleransi. Untuk menghalau dan membendung fenomena intoleransi berkembang ke pergurguruan tinggi, mahasiswa diharapkan memiliki edukasi dan literasi yang cukup terkait keberadaan organisasi internal maupun ekstrenal kampus sebagai ruang tempa diri.
“Organisasi menjadi pintu masuk bagi mahasiswa untuk banyak belajar. Dari pengetahuan, pengalaman dan pergerakan. Tentu, mahasiswa wajib selektif memilih organisasi, sehingga tidak masuk dalam pusaran intoleran,”ucap akademisi UHN I Gusti Bagus Sugriwa tersebut. Untuk memperkuat jejaring moderasi, mahasiswa tentu harus mengenal beragama organisasi kampus dan terlibat didalamnya secara positif dan konstruktif.
Sementara dalam konteks keberagaman, mahasiswa didorong agar menjadi agen perubahan dan key person (sosok penting) dalam menyikapi problem sosial di masyarakat. Termasuk komitmen terhadap kebangsaan, toleransi, anti kekerasan dan penerimaan terhadap tradisi lokal.
Di luar kampus, Akademisi STAHN Mpu Kuturan Singaraja Dr. Made bagus Adni Purnomo menyoroti intoleransi saat ini mengepung mahasiswa dengan masifnya akses digital dan jejaring di media sosial. Luapan informasi hoax dan disinformasi jelang Pemilu tahun 2024, juga turut serta menambah narasi intoleransi di dunia maya. Sehingga dibutuhkan sikap rasional dan jernih dari mahasiswa.
“Mahasiswa wajib memiliki kemampuan literasi digital dan berfikir kritis dengan bijak, sehingga informasi yang dikonsumsi tidak memperkeruh kehidupan berbangsa dan negara, “pungkasnya.(r)