Hari Suci Saraswati; Ibu adalah Dewi Saraswati Bagi Anak-Anaknya di Rumah
Hari suci Saraswati dalam ajaran Agama Hindu yang jatuh setiap Saniscara Umanis Watugunung dan menjadi hari spesial bagi Umat Hindu untuk memberi penghormatan kepada ilmu pengetahuan. Kendati demikian, pelaksanaan hari suci Saraswati hendaknya tidak saja diprioritaskan atau diidentifikasikan pada lingkungan pendidikan di sekolah. Sejatinya momentum hari suci Saraswati haruslah dapat diterjemahkan dalam arti yang lebih luas dan berkaitan dengan persoalan-persoalan yang relevan saat ini. Persoalan peran seorang Ibu dalam pendidikan dan pola asuh anak di keluarga misalnya.
Di dalam ajaran Agama Hindu, seorang Ibu disebut sebagai “matri dewa bhawa” yang berarti bahwa ibu adalah perwujudan dewi yang nyata di bumi. Bahkan dalam Kekawin Nitisastra VIII. 3 disebutkan bahwa salah satu kemuliaan menjadi ibu disebabkan memiliki kewajiban mendidik dan memberikan pola pengasuhan terbaik bagi anak-anaknya. Berangkat dari kemuliaan seorang ibu beserta tugas dan fungsinya sebagai pendidik dan pengasuh bagi anak-anaknya, sudah jelas bahwa seorang Ibu dalam hal ini adalah perwujudan Dewi Saraswati di dalam keluarganya. Dewi Saraswati yang menjadi sumber pengetahuan suci dan inspirasi bagi anak-anaknya.
Oleh karena itu, setiap datangnya hari suci Saraswati hendaknya selalu menjadi lonceng bagi setiap ibu di atas bumi ini untuk semakin memperkuat dan memperkaya ilmu pengetahuan sehingga kualitas pendidikan dan pola asuh terhadap anak semakin baik. Bahkan momentum hari suci Saraswati hendaknya dapat dijadikan waktu untuk melakukan evaluasi diri dalam urusannya terhadap anak. Terlebih saat ini banyak sekali tantangan seorang ibu dalam urusannya terhadap anak. Tugas ibu dalam mendidik dan mengasuh anak terlihat semakin kompleks di era digitalisasi yang sudah menyusup kepada anak-anak yang berumur dewasa hingga balita. Belum lagi seorang ibu yang sehari-harinya berurusan dengan urusan pekerjaan di dunia industri yang menuntut waktu lebih dibandingkan waktu bersama keluarga di rumah.
Di dalam ajaran Agama Hindu, seorang ibu haruslah memahami dan mengingat bahwa mendidik seorang anak dimulai semenjak dalam kandungan. Untuk dapat mendidik anak agar menjadi seorang yang suputra, maka terlebih dahulu seorang ibu harus merubah dirinya menjadi orang tua dengan memiliki kualitas diri yang baik. Karena itu dianjurkan agar seorang ibu hendaknya mengandung setelah melalui proses upacara perkawinan suci. Hal ini sangatlah penting karena ibarat menanam benih maka benih dan ladang harus dibersihkan dan disucikan terlebih dahulu untuk mendapat hasil yang baik. Hal ini sekaligus mempertegas bahwa ajaran Agama Hindu tidak membenarkan isu dan fenomena perkawinan yang didahului oleh kehamilan.
Mendidik anak semasih di dalam kandungan dimulai dari pembenahan pola pikir dan sikap ibu dan ayah. Saat mengandung maka kedua orang tua dan khususnya ibu sesungguhnya bagaikan Dewi Saraswati yang sedang beryoga untuk mengekang dan menghindari segala sesuatu yang tidak baik agar tidak berpengaruh pada janin. Wanita hamil hendaknya terhindar dari perasaan yang cenderung kuat, misalnya marah, sedih, terlalu bergembira, terlebih lagi sampai bertengkar saat hamil karena perasaan tersebut akan mempengaruhi perkembangan dan karakteristik anak dalam kandungan. Masa kehamilan adalah masa yang penting untuk mendidik anak yang akan lahir.
Setelah pendidikan dalam kandungan, maka ada pendidikan setelah bayi lahir. Di dalam ajaran Agama Hindu, seperti yang termuat dalam Pustaka Suci Weda—Canakya Nitisastra III.18, seorang anak yang baru lahir hingga berusia enam tahun tak ubahnya seperti seorang dewa dan dewi. Ibarat Dewi Saraswati dalam gambarannya yang lembut, maka ibu tidak diperbolehkan melakukan kekerasan terhadap anak baik itu berupa kekerasan verbal maupun non verbal. Pendidikan seorang anak dalam fase seperti dewa dan dewi ini telah diterapkan oleh para leluhur Hindu sejak lampau, misalnya tidak akan ada yang marah jika seorang anak kecil mempermainkan kepala bapak atau kakeknya.
Ketika anak sudah menginjak usia enam sampai dua belas tahun maka seorang anak tidak ubahnya seperti seorang raja, dia sudah mulai meminta banyak hal. Di dalam hal ini seorang ibu bagaikan Dewi Saraswati yang mengendarai Angsa Putih simbol kebijaksanaan. Sebisa mungkin ibu harus menuruti, tentunya dalam batas batas yang wajar. Jika anak agak nakal maka harus dinasehati dengan sabar dan dengan kasih sayang seperti menasihati seorang raja, karena dalam masa ini seorang anak sedang mengembangkan kemampuan otaknya sehingga memiliki rasa ingin tahu yang sangat tinggi.
Saat anak sudah berusia dua belas tahun hingga tujuh belas tahun maka seorang anak harus mulai diajarkan disiplin oleh ibunya. Seorang anak harus mulai diberi tugas dan tanggung jawab. Misalnya diberi tugas menyapu, mengepel, membuat canang sari, mebanten dan sebagainya. Seorang ibu harus mengetahui kapan berposisi sama dan sejajar dengan anak, kapan harus memposisikan diri berbeda dengan anak yaitu sebagai seorang guru dan pendidik sekaligus pengawas, kapan saatnya ibu harus memberikan hadiah kepada anak sebagai motivasi bagi anak dan kapan saatnya kita memberikan hukuman kepada anak. Harus benar-benar dipahami saat–saat yang tepat untuk menjalankan fungsi sebagai seorang ibu.
Setelah anak berusia di atas tujuh belas tahun, seorang ibu akan menjadi seperti bunga teratai yang menyiratkan penyesuaian, tidak kaku maupun cenderung otoriter—maka seorang ibu harus bisa memposisikan diri sebagai seorang sahabat bagi anak–anaknya. Saat dewasa seorang anak sudah mulai mengikuti kata hatinya, sehingga ibu harus mampu memahami kondisi tersebut. Dengan bersikap seperti sahabat bagi anak, maka akan ada keterbukaan antara ibu dan anak sehingga ibu akan lebih mudah mengontrol dan menasehati anak. Sudah tidak tepat lagi dalam usia ini untuk memarahi secara berlebihan dan mengekang anak seperti memarahi anak kecil. Hal tersebut justru akan membuat anak semakin jauh dan tertutup dengan orang tua.
Di dalam Pustaka Suci Weda—Sarasamuccaya 244, peran ibu untuk anaknya memiliki kedudukan penting yang hampir tidak dapat tergantikan. Ibu tidak hanya berperan sebagai sosok yang penuh kasih sayang, tetapi juga sebagai pendidik utama yang pertama kali membentuk karakter anak. Hindu memandang bahwa lingkungan keluarga adalah lingkungan pendidikan permulaan bagi anak, di mana orang tua, termasuk ibu, menjadi penuntun utama. Maka tidak heran jika peran ibu dalam keluarga memiliki pengaruh yang besar terhadap perkembangan anak secara menyeluruh.
Dalam proses mendidik anak, ibu sering kali berada di garda terdepan. Pendidikan keluarga adalah fondasi penting bagi tumbuh kembang anak yang ditekankan melalui pembiasaan dan improvisasi oleh orang tua. Dalam hal ini, tugas ibu dalam keluarga adalah memberikan pendidikan awal yang tidak hanya berfokus pada intelektual, tetapi juga pada moral dan emosional anak. Tanggung jawab besar yang diemban sosok ibu menuntut keteladanan dan kesabaran luar biasa. Menghargai ibu berarti memahami esensi mendidik yang sesungguhnya. Mendidik adalah proses yang melibatkan cinta, kesabaran, dan pengorbanan tanpa batas seperti halnya kemuliaan dan kesucian Dewi Saraswati.
Penulis: I Putu Heri Dianandika, M.Pd
(Ketua Aliansi Pemuda Hindu Bali-Tabanan)